Ternyata benar, wujud hantu itu bisa menyesuaikan
tempat mereka muncul, tak seperti di film-film hantu Indonesia yang kutonton
semasa kecil, hantu Jepang yang pernah kulihat, begitu berbeda kelihatannya.
Ini adalah tahun kelima kami sebagai pekerja dengan
visa keahlian khusus di Jepang. Awalnya, kami berlima saat pertama kali
menginjakkan kaki disini, namun kini tinggal aku dan Suep yang masih menggeluti
bidang yang sama, bidang perhotelan di daerah fukushima. Perjalanan kami di bidang
perhotelan selama 5 tahun ini, syukurlah tak melibatkan kami ke dalam kesusahan
yang pantas dikeluhkan, bagi kami yang bisa menabung untuk dibawa pulang ke
kampung nanti, paling jauh, adalah konsumen yang kadang membuat ulah dengan
aksi rasis mereka ke pekerja asing seperti kami ini, walaupun warna kulit kita
sama. Dalam kontrak kerja kami, semuanya sudah diatur dan disiapkan sedemikian
rupa oleh pihak perusahaan, kecuali tempat tinggal yang kami diberikan
kebebasan untuk memilih sendiri tempatnya, besar kecilnya, mahal murahnya, dan
tentu saja kebebasan itu diberikan karena memang itu semua sudah dipotong dari
gaji kami masing-masing. Tentu saja, kami yang punya niatan untuk bisa punya
tabungan sebanyak-banyaknya, memilih untuk mengambil harga seefesien mungkin,
yang sekiranya kami dapat bertahan hidup dari sana. Dari kehidupan 5 tahun
terakhir yang sudah kami lalui dengan berhemat ini, dalam sisa waktu sekitar 3
bulan terakhir di Jepang (kami harus perbarui kontrak dan pulang terlebih
dahulu ke negara asal) tiba-tiba Suep menemukan info yang dapat memudahkan kami
untuk bisa lebih ikat perut lagi, sebuah info dari kenalan orang Jepang asli
yang menawarkannya rumah singgah semacam kos-kosan dengan harga yang lebih
murah, dua kali lebih murah bahkan dari kos-an kami yang dari awal sudah
murah.
Sebagai orang yang mengaku rasional, sebenarnya aku
sudah mengajak Suep berunding dahulu, apa mungkin ada sesuatu di balik murahnya
kos-kosan itu, berkali-kali aku bilang, “jangan-jangan ada ini, ada itu,
jangan-jangan dia mau nipu?!”. Namun, pada akhirnya kerasionalan itu
terkalahkan dengan bayangan bisa lebih berhemat untuk 3 bulan terakhir kami
disana. Untuk pertama kalinya kami datang ke tempat kos itu untuk memvalidasi
rincian yang dikatakan kenalan Jepang Suep. Tidak ada yang nampak mencurigakan
di sana, namun memang dengan harga itu ada beberapa kekurangan, seperti pintu
yang seret untuk digeser, kamar mandi yang krannya alot, intinya segala unsur
tempat yang terkesan “tua” ada disini.
Hari kami pindahan pun tiba. Setelah kami melepas
penat sehabis menata barang-barang kami di ruangan kotak penuh sesak itu (kami
tinggal satu kamar untuk lebih hemat lagi, hehe), kami hendak membersihkan
bagian luar di sekitar kamar kami, sekadar agar lebih enak dipandang. Saat itu
kami bertemu dengan salah satu dari lima orang yang di klaim sedang menghuni
kos ini (hanya kami yang bukan orang Jepang). Sebagai pendatang, kami ucapkan
salam basa basi alakadarnya, tapi dia tak menjawab dan malah tiba-tiba berkata
“kakek, ada tamu baru loh” sambil mengarahkan wajahnya ke kamar kami. Tak mau
ambil pusing dengan gerak-gerik aneh laki-laki yang sepertinya berusia 30
tahunan itu, kami lanjut ke adegan bersih-bersihnya. Kami membagi porsi
bersih-bersihnya dengan kesepakatan bersama, aku bagian depan dan langit-langit
kamar, sementara Suep bagian lantai dan kamar mandi. Tengah asik bergulat
dengan debu bersama kuman-kuman tempat usang itu, tiba-tiba suep berkata dengan
sedikit berteriak “astagfirullah”, sontak aku bertanya “kenapa ep? Kecoak?” dia
malah menjawab dengan nada yang kurasa agak gemetaran “eh, enggak, aku
hampir kepleset ini”.
Bukan tanpa terasa, hari kami di tempat kos ini
telah berlangsung 1 minggu. Beruntunglah kami punya jadwal shift kerja yang
sama, sehingga pola hidup kami, kurang lebih hampir sama, bangun pagi, gosok
gigi, masak sendiri, lalu berangkat menghadap dunia korporat Jepang. Hingga
suatu hari disaat libur, jadwal kami yang biasanya kami gunakan untuk lembur,
terpaksa ku pakai istirahat saja, sedangkan suep masih giat 3 jam lebih lama di
hari Jumat malam itu. Badanku yang diserang rasa meriang pun ku istirahatkan di
kasur futon kamar kami. Baru tidur sekira 1 jam sehabis menenggak parasetamol,
aku terbangun karena merasa risih dengan suara seorang pria, entah seusia berapa
dia, namun yang jelas suaranya cukup berat seperti pria 50 tahunan. “hooi,
hooi” suara itu tak bisa kurasakan datangnya dari mana, entah dari kamar
sebelah kiri atau kananku. Lampu yang tadinya kumatikan (aku tim tidur dengan
lampu mati), sontak kunyalakan dengan badan yang kini berubah menjadi lemas
(mungkin ini tahapan demam, setelah meriang), tepat setelahnya aku tak
mendengar suara apapun, hanya lolongan anjing yang terdengar tidak ramah.
Bukannya istirahat, rasa parno pasca kejadian itu
membuatku enggan mematikan lampu, yang berujung aku tidak tidur dan memilih
menunggu suep datang. Dari situ baru kurasakan, betapa sepinya kos-kosan ini,
jangankan suara berisik tetangga kos, tanda kehidupan dari kelima orang yang
dimaksud waktu itu pun tak ada sama sekali. Selain hp yang terus kugenggam,
hanya ramen instan hampir dingin yang tak kunjung kumakan yang menemaniku.
Kesendirian itu membuatku tiba-tiba memerhatikan sekeliling kamar itu, dan
makin kusadari betapa mencekamnya tempat ini dengan penerangan yang agaknya
buruk. Setelah kuperhatikan dengan seksama, di jendela seperti ada siluet orang
berdiri, kelihatannya seorang pria dengan kepala plontos. Di tengah suasana
yang menjurus ke fenomena horror itu, “jegrek” syukurlah suep ternyata pulang
lembur lebih awal 1 jam dari yang seharusnya. Dan ketika aku kembali
mengalihkan pandangan ke arah jendela, siluet itu menghhilang.
Akhirnya dengan kedatangan suep, aku bisa
melanjutkan tidur setengahku yang tadi, apalagi suep juga nampak lelah dan
langsung tidur juga. Kami yang sama-sama lelap, akhirnya bertemu dengan kakek
yang dimaksud pria tempo hari. Kejadian itu terjadi di jam yang hampir
menyentuh 3 pagi, aku kembali mendengar suara “hooi, hoooi” dibarengi dengan
dorongan tangan yang terus menggoyang-goyang badanku, makin terasa dan sekarang
terdengar suara suep yang memanggilku “woi bangun woi” hingga membuatku bangun
setengah sadar dan menoleh kearahnya, “apaan sih” tanyaku. Dengan mimik wajah
yang seperti mau mengangis, suep menunjuk kearah atas sambil berkata “itu”.
Tepat diatas kami, kami melihat seorang kakek-kakek
yang sedang melayang sambil menghadap kearah kami. Berulang kali kata yang sama
dia lontarkan “jii chan dayo” yang berarti “ini kakek” sontak aku pun berteriak
“astaghrilullah” berkali-kali. “Ep, apa itu ep” kakek dengan wajah pucat dan
posisi yang absurd itu masih saja mengulangi kata-katanya “jii chan dayo” yang
setelahnya bahkan dibarengi suara ketawa menggema, yang kedengarannya seperti
suara dari kombinasi 3 orang, melengking, berat, dan serak. Semua itu berakhir
ketika suep memaksakan dirinya untuk berguling dan langsung berdiri untuk
menekan saklar. “Cetet” dan kakek beserta suaranya lenyap seketika dari ruangan
itu. Saling tatap menatap dengan tubuh yang masih gemetar, kami berakhir memotong
waktu tidur kami dari jam 3 pagi.
Suep dan aku memilih tak mempermasalahkan perkara
uang kami atau tak ambil pusing tentang apapun yang ada di balik kos-kosan itu.
Suep bercerita kalau dia sebenarnya sudah melihat kakek itu di ventilasi kamar
mandi disaat kegiatan kerja bakti kami yang pertama, namun karena merasa tidak
enak padaku yang sudah menyetujui ajakannya pindah kos, dia memilih tutup
mulut. Pada akhirnya, kami memilih angkat kaki dari kos-kosan itu dan menyewa
kos dengan harga yang masuk akal.
Author by Didan
0 Comments