Bangunan rumah yang rapuh dan sering kali tidak terawat dengan baik ini tidak hanya mencerminkan kondisi fisik yang memprihatinkan, tetapi juga penderitaan di dalamnya. Dinding-dindingnya yang retak dan berlubang, atap-atap yang bocor, serta ventilasi yang buruk membuatnya menjadi tempat yang tidak layak dihuni. Air yang kerap kali tidak layak diminum mengalir dari keran, dan lampu-lampu temaram menyinari ruangan-ruangan kecil yang sesak. Ia sudah terbiasa dengan hal ini semenjak tersingkir dari kota Bellingham karena sebuah kutukan selama 10 tahun.
Kutukan ini dikenal sebagai Lumire Letters, diambil dari seorang penyihir jahat bernama Lumire yang membuat pengidapnya akan mengalami kutukan merangkai kata seumur hidup. Sepuluh tahun yang lalu, kota Bellingham diserang oleh sekelompok penyihir Lots yaitu pengikut Lumire dan mulai membakar rumah warga. Semua anak - anak Bellingham diculik dan dipaksa untuk menerima sebuah kutukan Lumire. Dari seluruh anak dipaksa, hanya Mira yang berhasil selamat menerima kutukan itu, sedangkan yang lain tewas dengan tragis karena efek samping yang ditimbulkan.
Sejak saat itu, Mira dipaksa untuk
menulis setiap lembar buku Aether sebagai syarat mempertahankan hidupnya.
Aether adalah buku yang selama ini menemani Mira. Aether hanya menerima catatan
kehidupan Mira yang menarik bagi dia. Aether ce
nderung menerima catatan Mira
dalam hal keburukan seperti penderitaan dan kesedihan. Bagi Aether, semua
catatan yang merugikan manusia adalah hal menarik dan bila Mira tidak menulis
Aether selama sebulan, maka Mira akan tewas terbakar karena kutukan Lumire.
Setelah membersihkan diri dan mengganti pakaian, Mira menuju meja kerjanya kemudian mengecek dan memilah surat-surat permintaan dan permohonan dari penjuru kota.
“Hump! Mengapa bulan ini sangat banyak surat permintaan?! Memangnya orang-orang ini tidak bisa menjaga diri ya?! Kalian kira aku ini Malaikat pencabut nyawa dan seenak jidat menyodorkan permintaan aneh!” gumam Mira.
Permintaan aneh seperti ini kadang terjadi dan membuat Mira sebal karena tidak membuatnya tidak menarik sama sekali seperti permintaan sang suami untuk membunuh istrinya karena ketahuan selingkuh atau mengambil anjing tetangga yang berisik. Namun dari semua surat permintaan aneh, ada satu surat yang cukup menarik.
Teruntuk Sinister
Salam
Sejahtera,
Kami harap surat ini menemukan Anda
dalam keadaan sehat dan bahagia.
Kami ingin mengajukan permintaan
untuk Anda.
Tolong untuk cabut nyawa anak kami.
Anak kami mengidap penyakit langka
yang sampai saat ini tidak bisa disembuhkan.
Kami tidak ingin melihatnya menderita
kembali, berapapun upah yang Anda inginkan
akan kami bayar.
Bila Anda berkenan atas permintaan
kecil kami, alamatnya telah tertera dibalik surat.
“Mengambil nyawa anak?” ujar Mira terheran.
Pertama kalinya Mira mendapat permintaan seperti ini, dia dipaksa untuk melakukan suatu kejahatan demi kebaikan keluarga. Selama sepuluh tahun lamanya sebagai pembunuh bayaran, ia tidak pernah mendapatkan permintaan seperti ini.
“Hmm.... Boleh juga aku ambil permintaan ini. Masih lebih baik daripada sebelumnya dan mungkin saja aku bisa anak itu menderita dan bisa memperpanjang hidupku di Aether.” ujar Mira seraya menyeringai.
Tanpa berpikir panjang, Mira segera berkemas memakai jubah dan bergegas menuju alamat rumah tertera. Tidak luput juga Mira membawa buku Aether yang selama ini menjadi teman berkelana nya. Sejak Mira mendapat kutukan Lumire, dia telah berprofesi sebagai pembunuh bayaran. Pekerjaan itu semata-mata hanyalah untuk menunjang keberlangsungan hidupnya karena Aether hanya menerima catatan buruk orang lain. Cara terbaik untuk menemukan hal keburukan adalah dengan membunuh atau membuat menderita seseorang. Bahkan kematian kedua orang tuanya tak luput dari rasa lapar Aether. Kedua orang tuanya dieksekusi karena ketahuan meloloskan Mira dari kejaran pasukan Bellingham. Semua kejadian itu ditulis ulang oleh Mira hanya untuk memuaskan rasa lapar Aether.
Mira segera bergegas menuju rombongan kereta kuda untuk mencari tumpangan ke kota Walterham dimana lokasi tempat tinggal targetnya berada. Mira kemudian duduk di dalam kereta kuda bersama dengan barang bawaan dan kusir di depannya. Pak kusir tersebut menanyakan mengapa ia pergi ke kota Walterham mengingat Walterham saat ini dilanda kabut aneh. Sangat beresiko bila pergi menuju kota tersebut.
“Apakah ada sesuatu yang ingin kamu
lakukan disana nona?” tanya pak kusir keheranan.
“Ya saya hanya ingin menemui saudara
disana, kebetulan saat ini dia sedang membutuhkan bantuan” jawab Mira dengan
santainya.
“Seperti yang saya bilang
sebelumnya, untuk menuju ke kota tersebut, membutuhkan waktu semalam. Namun
saya hanya bisa mengantarkan nona separuh jalan dan memilih jalan memutar. Nona
bisa membayar separuh perjalanan saja.” tawar pak kusir sedikit gemetar.
Rombongan pedagang ini juga tidak ingin mengambil resiko yang sama dikarenakan
Walterham bukanlah kota yang sama lagi dan tidak ada seorang pun dari luar yang
akan memasuki kota tersebut. Mira tidak ingin membuat takut rombongan kuda
lainnya dan ia juga belum sepenuhnya tahu mengenai kabut tersebut.
“Baiklah, tidak masalah. Saya akan
membayar setengahnya” jawab Mira sambil mengehal nafas dan pasrah.
“Terimakasih atas kepedulian Anda, tentu kami mendoakan semoga Anda selamat sampai tujuan” ujar pak kusir seraya memanjatkan doa.
Hari menjelang malam dan gerombolan
pedagang memutuskan untuk bermalam dan berkemah di dataran padang rumput yang
luas. Para pedagang mulai menyalakan api unggun sembari menyiapkan hidangan
makanan. Mira merasa kehadiran para pedagang ini membuatnya merasa lega dan
sedikit menghilangkan rasa bosannya. Para pedagang bernyanyi dan bercanda satu
sama lain. Kesempatan itu Mira gunakan untuk menanyakan cerita mengenai bencana
kabut di Walterham.
“Saya sedikit penasaran mengenai
kabut Walterham, bagaimana kabut itu bisa terjadi ?” tanya Mira sembari minum
sirup ceri buatannya.
Para pedagang mulai melingkar
kembali di depan perapian. Sikap mereka sedikit serius dan trauma akan kabut
tersebut. Tangan mereka mengepal dengan kuat seperti memohon ampun. Mira merasa
tidak enak akan suasana yang terjadi, ia memutuskan untuk tidak membahasnya
lagi.
“Saya mohon maaf atas kelancangan
tadi, mungkin saya cukupkan pembahasannya sampai sini.” ujar Mira dan segera
beranjak dari perapian untuk beristirahat.
Pak kusir yang sedari awal memberi
tumpangan kepada Mira kini mulai memberanikan diri untuk bercerita.
“Tidak apa, biarkan aku yang
bercerita” ujar pak kusir. Perkataannya menahan Mira untuk beranjak dari
perapian dan pak kusir mulai menceritakan segalanya mengenai kabut Walterham.
“Lebih baik nona mengetahui lebih awal perihal kabut tersebut daripada nona terjebak tanpa mengetahui apapun” ujar pak kusir tersebut.
Pak kusir menjelaskan bahwa kabut itu tercipta dikarenakan ulah Naga Angin Utara yang ingin membalaskan dendam kepada Raja pertama Walterham bernama Khalmus I. Khalmus I merupakan seorang pendekar legenda terkenal di seluruh dunia. Ia diceritakan berhasil mengalahkan Naga Angin Utara dengan sekali tebas dan membuat Naga Angin Utara tersegel selama 500 tahun lamanya. Pak kusir melanjutkan bahwa balas dendam Naga Angin Utara terhadap kota Walterham semakin menjadi kuat tatkala ia mendapatkan anugerah dari penyihir Lumire dan membawa kabut tebal menuju kota tersebut. Mira sangat jengkel mendengar nama penyihir itu. Bagaimana tidak, penyihir yang selama ini membuat dia menderita juga menjadi penyebab penderitaan bagi orang lain.
Efek dari kabut tersebut akan aktif
bila korban berhasil keluar dari kabut yang menyelimuti. Ketika berhasil
keluar, maka orang akan tersebut akan lupa ingatan dan bertingkah layaknya
mayat hidup. Satu-satunya cara untuk selamat dari kabut tersebut adalah berada
di dalam kabut itu selamanya. Bisa dikatakan sekalinya masuk kota Walterham,
tidak akan bisa keluar dengan selamat.
“Aku adalah salah satu penduduk kota
Walterham. Dulunya kota Walterham adalah pusat perdagangan maju, namun
dikarenakan kabut tersebut, kota itu menjadi mati dan menakutkan” jelas pak
kusir.
“Beruntungnya aku dan istriku
selamat dari tragedi itu dikarenakan posisi kami berada diluar kota, namun
tidak dengan anakku. Anak ku adalah korban dari efek kabut itu, saat ini ia
lupa ingatan dan semua indera nya menjadi mati. Hiks...hiks...” lanjut pak kusir
sembari menangis sedih akan kondisi anaknya.
Para pedagang mulai menenangkan pak
kusir dari tangisnya. Salah satu pedagang mulai menasehati Mira untuk berpikir
ulang menuju kota Walterham. Mira menyadari bahwa saat ini mungkin bukan waktu
yang tepat untuk menerima permintaan tersebut. Walaupun rasa penasaran tetap
ada, namun Mira memilih untuk mengurungkan niatnya menuju kota Walterham karena
keselamatan dia lebih penting dan tidak ingin beresiko lebih dalam lagi.
Tak jauh dari tempat perapian kami,
seorang penjaga tiba-tiba berteriak kepada kami dan mengabarkan keadaan
darurat.
“KAWAN-KAWAN! GAWAT! KABUT MISTERIUS
BERJALAN MENUJU KE ARAH KITA!” seru penjaga tersebut sembari berlari ke arah
kawanan pedagang.
Sontak seluruh pedagang yang
bermalam kaget dan terheran akan keberadaan kabut dengan cepat menuju ke arah
gerombolan pedagang. Pak kusir kaget dan ketakutan dikarenakan ia sangat
mengenal kabut itu. Kabut itu adalah kabut sama yang terjadi di kota Walterham.
“Tidak
mungkin! Kita bahkan belum separuh perjalanan menuju kota Walterham. Semuanya
segera bergegas! Kita pergi dari sini!”
Orang-orang sontak berlarian dan bergegas menuju kereta kuda
namun terlambat, kaut menerjang dengan cepat sehingga orang-orang belum sempat
menyelamatkan diri. Kabut mulai menerjang dan menyebar di antara kerumunan.
Kuda-kuda meringkik dan berlarian. Orang-orang disekitar menjadi panik tidak
karuan, wajah mereka pucat dan putus asa.
“Bagaimana ini?! K-Kita terjebak di dalam kabut! A-Aku tidak
menyangka ini akan terjadi padaku!” teriak histeris salah satu pedagang. Ia
meringkuk ketakutan sedangkan yang lain berusaha untuk berdiam di tempat
masing-masing. Mira begitu khawatir dengan keadaan yang kin telah dihadapi.
“Sial, aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi! Jangan bilang
kalau ini adalah hari terakhirku!” gumam Mira sembari memperhatikan keadaan
sekitar.
“Teman-teman, sepertinya malam ini adalah hari terakhir bagi
kita semua, aku merasa senang bisa bertemu dengan kalian. Titipkan salamku
untuk anak dan istriku.” ujar pak kusir tersebut.
Seketika angin menderu begitu kencang di hadapan semua orang dan menyebabkan kabut bergeser sedikit demi sedikit. Dahsyatnya angin yang datang tidak sempat bagi para pedagang untuk melarikan diri dan kabut dengan cepat menghilang. Mira memejamkan matanya dan berharap sesuatu yang tidak diinginkan tidak terjadi. Ia hanya menangkis angin tersebut dengan jubah miliknya. Setelah kabut menghilang, semua orang tergeletak tidak sadarkan diri. Hanya Mira yang tetap teguh dengan posisinya awalnya, ia menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan sekelilingnya. Mira mulai memeriksa kondisi para pedagang. Ia memeriksa denyut nadi leher dan tangan pak kusir. Mira tidak menyangka keadaan pak kusir pucat dan dingin namun denyut nadinya masih mengalir. Mira juga memeriksa pedagang lainnya, keadaan para pedagang layaknya mayat hidup. Mereka semua tidak bisa bergerak namun masih bisa bernafas. Mira heran dengan dirinya yang sanggup menangkal efek samping dari bencana kabut.
“Aku tidak menyangka bisa bertahan dari bencana tersebut.
Seharusnya aku sudah menjadi mayat hidup seperti mereka. Bahkan jubahku
terhempas jauh, tentunya bukan karena jubah itu.” gumam Mira sembari meraih
jubahnya yang terhempas.
“Aku harus melanjutkan perjalanan, mungkin sebaiknya aku tinggalkan mereka disini.” ujar Mira dan bergegas menuju ke kota Walterham menggunakan kuda yang masih terselematkan.
Sang surya telah bersinar dari ufuk timur kota Walterham, Mira sepanjang malam mengendarai kuda menuju kota Walterham. Memang benar, tampak kejauhan, kabut menyelimuti kota Walterham. Dari jauh seperti kota mati, hampir tidak ada cahaya matahari menembus kota tersebut.
“Fiuh! Akhirnya sampai juga. Kota Walterham tampak seperti
kota mati dari sini.” ujar Mira sembari beristirahat sejenak. Mira masih
penasaran dengan kemampuan dirinya yang dapat menangkal efek samping dari kabut
semalam.
“Apa karena kutukan Lumire? Kalau memang benar, tentu akan
sangat menyebalkan sekali”. Mira kemudian merogoh buku Aether dari dalam tasnya
serta mengusapnya.
“Entah mengapa, berapa banyak lagi keburukan yang harus kutulis di buku ini. Rasa empati terhadap manusia telah berkurang drastis.” gumam Mira.
Mira beranjak dari tempatnya dan berkemas menuju kota Walterham. Ia memberanikan diri untuk memasuki kota Walterham dikarenakan Mira menyadari bahwa efek kabut tersebut tidak berpengaruh padanya. Ia harus segera mencari anak yang dimaksud agar Mira dapat dengan cepat menyelesaikan misinya dan pulang.
Dengan kemantapan hati, Mira mulai memaacu kudanya dan memasuki kota Walterham. Mira mengenggam erat tali kuda sembari memejamkan mata. Secara perlahan gerak kuda mulai terhenti di tengah jalan. Mira mendengar suara gemuruh disekelilingnya dan perlahan membuka kedua matanya.
“Huhh? HAAAHHH!!!” seru Mira sembari
memperhatikan setiap sudut kota. Ia tidak menyangka kota Walterham layaknya
kota pada umumnya. Ramai seperti biasa bahkan lebih cerah dari kota yang selama
ini ia kunjungi. Setiap sudut kota memiliki cerita bahagianya masing-masing. Mira
hanya terbelalak tak ada habisnya, pemandangan kota Walterham sangatlah indah.
Mira yang terkejut dan kagum oleh
pemandangan kota Walterham berhenti sejenak, mencoba mencerna perubahan ini. Ia
melihat warga kota yang begitu bahagia, anak-anak bermain di taman, dan
toko-toko yang ramai dengan pelanggan. Ini adalah pemandangan yang sangat berbeda
dari yang ia bayangkan.
“Aku tidak mengira kota yang terlihat mati di dalamnya begitu makmur di dalamnya” ujar Mira.
Tampak dari kejauhan terlihat
seorang penjaga mencurigai gerak-gerik Mira. Mereka menghampiri Mira dan
menanyakan beberapa hal kepadanya. Penjaga tersebut membawa pedang disampingnya
dan baju besi layaknya kesatria. Mira kemudian turun dari kudanya dan
berhenti di posisinya.
“Siapa kamu? Kami tidak pernah
melihat orang sepertimu disini” ujar penjaga tersebut.
“Saya Naira Windsmith. Dari kerajaan
Bellingham.” jawab Mira.
“Bellingham? Apa tujuanmu kesini?”
“Saya hanya petualang biasa dan
menempati sementara kota ini”
“Baiklah, silahkan menempati kota
ini.” lanjut
penjaga tersebut.
Mira sedikit curiga dengan penjaga yang tidak memberitahu apapun perihal bencana kabut di kota Walterham. Dengan inisiatif, Mira menanyakan mengenai bencana kabut dan penyakit langka.
“Apa alasanmu
menanyakan hal tersebut? Tidak ada hubungannya dengan kota ini, bencana kabut dan
penykit langka hanyalah mitos belaka.” ujar penjaga. Mira mulai menyadari ada
yang tidak beres dengan kota ini dan izin beranjak dari tempat.
“Terimakasih
atas jawabannya, saya izin untuk beranjak” ujar Mira seraya meninggalkan
penjaga tersebut,
“Hei nak! Ku peringatkan satu hal, jangan pernah pernah mencari suatu hal asing atau kau akan menerima akibatnya.” seru penjaga tersebut dengan tatapan tajam dan meninggalkan Mira sendiri di tengah kerumunan orang.
Mira menyadari bahwa walaupun kota ini Makmur, namun ada banyak hal yang janggal disini. Mira kemudian pergi menuju penginapan dan bertemu dengan resepsionis. Ia memesan satu kamar untuk 3 hari sembari bertamasya. Bagi Mira, kota ini begitu sempurna dan layak baik dari warganya dan tata letaknya. Hampir tidak ada konflik yang begitu berarti di dalamnya. Setelah mendapatkan kamar yang diinginkan, ia segera berbaring dikasurnya dan sedikit demi sedikit matanya mulai mengantuk. Kejadian tadi malam membuatnya merasa sangat lelah dan beristirahat sebentar.
Mira terbangun dari tidurnya dan waktu telah berganti ke sore hari. Ia tidak menyangka akan tidur selama itu. Dia segera beranjak dari kasurnya dan keluar menuju kota. Kata resepsionis, hari ini akan digelar pesta rakyat. Karena itulah, kota begitu sibuk dan ramai sejak pagi tadi. Lampu kelap-kelip dan kobaran api menyala di setiap sudut kota. Semua orang begitu bahagia dan senang akan pesta ini. Mira juga tidak luput dari pesta rakyat ini, ia mulai menghampiri tenda makanan. Penari-penari diatas panggung mulai menari dan menyambut sang raja. Warga Walterham menyambutnya begitu mewah dan meriah, sang raja duduk disinggasana miliknya serta membawakan beberapa kalimat penyemangat kepada rakyatnya.
“Wahai warga
Walterham yang saya sayangi, kita telah berada dipuncak kejayaan. Kota
Walterham adalah surga bagi seluruh insan di dunia. Ia akan selalu abadi dan
selamanya akan terus abadi. ABADI WALTERHAM!” ucap sang raja.
“ABADI
WALTERHAM!”
“ABADI WALTERHAM!”
“ABADI
WALTERHAM!”
Sorak sorai warga dan gemuruh memecah gendang telinga Mira. Warga bergitu antsuias atas pidato sang raja. Yang terlintas dipikirannya hanyalah kata tersebut. Mira mulai meninggalkan keramaian warga dan beralih menuju gang sempit. Mira mulai memakan makanan yang ia beli sebelumnya. Namun dari dekat tampak dua pria muda sedang mengobrol satu sama lain. Mira kemudian menguping pembicaraan mereka berdua.
“Aku tidak menyangka
respon orang-orang seperti itu. Sangat sulit untuk di ungkapkan, tetapi kota
Walterham makmur karena anak itu.”
“Ya, anak penyakit langka itu berkontribusi penuh terhadap kota ini. ya walaupun penyakitan sih, hahaha!”
Mira menyadari kaitannya kota ini dengan anak yang dia cari selama ini. Mungkin saja hal itu berkaitan. Dengan sigap Mira menculik dan membungkam salah satu dari mereka dan menyeretnya ke dalam gang sempit dan gelap.
“Katakan semua yang kamu ketahui!” bisik Mira
sambil mengancam pria tersebut dengan bilah pisau di lehernya.
“Siapa kamu?! Katakan apa?!” ujar
pria tersebut ketakutan.
“Aku perjelas, siapa yang kamu
maksud anak penyakit langka?!”
“Penyakit langka?! I-Itu rahasia!”
“Jawab dan akan ku lepas dirimu!” ujar Mira dan menodongkan bilah pisaunya kepada pria itu.
Pria itu menjawab bahwa makmur atau tidaknya kota Walterham bergantung kepada anak yang dimaksud. Mira mendapatkan secercah jawaban dari hal ini. Ia kemudian menyanakan lokasi anak yang dimaksud. Pria tersebut bersikukuh tidak mengetahui lokasinya, ia hanya mendengarkan rumor saja bahwa anak penyakit langka itu berlokasi di pinggiran kota yang tidak terjamah warga.
“Itu saja? Yang lain?” ancam Mira.
“H-Hanya itu yang aku tahu! A-Aku
mohon lepaskan diriku!”
“Baiklah kalau begitu, aku lepaskan.”
Mira melepas pria tersebut dan ia berlari
ketakutan meninggalka Mira. Namun, tak lama ia berlari, tubuhnya terbelah-belah
dan mengucur darah deras padanya. Pria itu tewas ditempat. Mira hanya tertawa
melihatnya, ia tidak lupa dengan titelnya sebagai buronan negara dan pembunuh
bayaran.
“Terimakasih atas informasinya. Hehe.” ujar Mira dan bergegas menggunakan jubah kamuflasenya menuju lokasi yang dimaksud pria tersebut.
Mira tiba di pinggiran kota Walterham, di mana pria yang dia curigai sebelumnya mengatakan bahwa anak penyakit langka itu berada. Wilayah ini terasa sangat sepi dan suram. Bangunan-bangunan yang dulunya mungkin pernah digunakan, sekarang tampak terlantar dan terkubur dalam kegelapan. Mira merasa seperti memasuki kawasan terlarang yang jauh dari keramaian kota. Setelah berjalan beberapa saat, Mira melihat sebuah bangunan tua yang terlihat terabaikan. Atapnya bocor dan dindingnya retak. Ini adalah tempat yang pria tadi sebutkan. Mira mendekati bangunan itu dengan hati-hati, terus memegang erat pisau di tangannya. Dia tidak tahu apa yang akan dia temui di dalam.
Mira membuka pintu bangunan tua itu dan masuk dengan hati-hati. Di dalam, dia melihat ruangan yang sangat gelap. Hanya sedikit cahaya yang masuk melalui celah-celah di dinding dan atap. Ruangan itu berisi barang-barang tua yang tampaknya tidak pernah digunakan lagi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Namun, saat Mira melangkah lebih jauh, dia mendengar suara lemah yang terdengar seperti rintihan. Dia mengikuti suara itu dan tiba di sebuah sudut ruangan yang lebih gelap. Di sana, dia menemukan anak kecil yang tergeletak lemah di atas sehelai jerami kusam.
Anak itu terlihat sangat lemah dan kurus. Wajahnya pucat, dan matanya buta. Mira segera mendekati anak itu dan memeriksanya. Dia merasa denyut nadi anak itu sangat lemah, dan anak itu tampak sangat sakit. Tampaknya inilah anak penyakit langka yang pria tadi sebutkan. Mira merasa iba melihat keadaan anak itu. Dia tahu bahwa tugasnya adalah "mengambil nyawa" anak ini, tetapi melihatnya dalam kondisi seperti ini membuatnya ragu. Apakah benar-benar anak ini yang dimaksud?
Mira memutuskan untuk mencoba membantu anak itu terlebih dahulu. Dia mencari air dan makanan di bangunan itu dan memberikannya kepada anak itu yang tampaknya sangat kelaparan dan haus. Selang beberapa jam, Mira merawat anak itu dengan penuh perhatian, berharap bahwa kesehatannya akan membaik. Sementara itu, Mira terus merenungkan situasi ini. Dia tahu bahwa jika dia membawa anak itu pergi, itu bisa menjadi sebuah kejahatan yang tidak dapat diampuni. Namun, dia juga merasa bahwa ada sesuatu yang sangat aneh dengan kota Walterham, dan kutukan Lumire Letters mungkin memiliki peran di balik semua ini.
Akhirnya, anak itu mulai membaik. Dia mulai bisa duduk dan bicara dengan Mira. Dia mengatakan namanya adalah Kael dan bahwa dia telah tinggal di bangunan ini sejak dia kecil. Dia memiliki penyakit langka yang membuatnya sangat lemah, dan dia telah hidup dalam isolasi selama bertahun-tahun.
Kael bercerita bahwa dia adalah satu-satunya yang bisa keluar dari kabut misterius yang melanda kota Walterham. Dia adalah satu-satunya yang tidak lupa ingatan dan bisa bergerak bebas di luar kabut. Kael juga mengungkapkan bahwa dia adalah anak satu-satunya dari Raja Khalmus I, penguasa pertama Walterham yang dulu berhasil mengalahkan Naga Angin Utara. Mira merasa terkejut mendengar cerita ini. Raja Khalmus I dulu mengalahkan Naga Angin Utara, dan Kael adalah keturunannya. Mira menyadari bahwa keberadaan Kael adalah kunci dari kemakmuran kota Walterham, dan itulah mengapa kota ini terlihat begitu makmur dan berbeda.
“Apa kamu tidak apa-apa seperti ini?
Orang-orang sepertinya senang jika dirimu tetap seperti ini.” ujar Mira.
“Tentu saja tidak. Aku tidak ingin
menderita seperti ini lagi, namun warga sudah tidak peduli lagi dengan bencana
yang menimpa mereka. Kota ini terlalu dimanjakan.” ujar Kael dengan lirih.
“Perkataanmu terlalu dewasa bagiku,
hahaha!” lanjut Mira
“Hm? Maksudnya?”
“Bukan apa-apa. Kamu tidak ingin
keluar dari sini?” tanya Mira sekali lagi.
“Tidak, aku merasa harus melakukan sesuatu yang penting disini.”
Mira mulai menyimak dampak yang ditimbulkan bila Walterham tetap seperti ini. Walterham akan dilanda serangan Naga Angin Utara dan setelah itu semuanya akan musnah dalam sekejap. Kael menyadari bahwa dirinya tidak sanggup untuk bertahan melindungi kota ini apalagi ia tidak diperlakukan selayaknya manusia pada umumnya.
“Karena itu, aku mohon kepada kakak untuk ambil nyawaku. Kakak akan lakukan itu kan? ” ujar Kael.
Mira kaget dengan pernyataannya, ia
bahkan tidak memberitahu dirinya bahwa ia adalah orang yang akan mengambil nyawanya.
“Bagaimana kamu tahu aku adalah
orang yang mengambil nyawamu?” tanya Mira.
“Ya, aku yang mengirim surat itu. Aku
dengar kakak adalah pembunuh bayaran, maka lebih akan lebih baik jika aku
meminta kepada kakak.”
“Kenapa kamu tidak meminta kepada
orang lain? Mengapa harus aku?”
“Orang-orang tidak ingin kematianku karena jika aku mati maka musnah kota ini. Aku tidak ingin menderita lagi.” jawab Kael.
Mira beranjak dari tempat lalu berdiri di hadapan Kael. Ia kemudian menggenggam tangan Kael dan mendekatkan wajahnya.
“Aku akan menyelematkanmu dan membawamu keluar dari sini. Sudah cukup bermainnya, sekarang ikuti aku!” ujar Mira dan menyerat Kael dari bangunan tua itu.
Kael begitu kaget dengan respon yang
diterima, Kael bersikeras menolak ajakan Mira dan ingin mengakhiri hidupnya
dengan cepat.
“Kak, lepaskan! Aku tidak ingin keluar
dari kota!” seru Kael.
“Arrghhh, banyak omong. Ikut saja!”
Kael begitu keras melepas genggaman Mira dan terpental jatuh ke bawah. Kael berkata bahwa dia tidak ingin hidup dan menyerah kepada kehidupannya. Mira dengan wajah pnuh amarah dan jengkel seketika menampar keras pipi Kael.
“Aku beritahu sesuatu, jangan pernah menganggap remeh kehidupan.” ujar Mira dengan nada dingin.” ujar Mira.
Ia nampaknya kesal dan jengkel dengan Kael yang putus asa akan hidupnya. Bagi Mira ini terasa sangat ironi baginya walaupun dia adalah pembunuh bayaran namun sanat menghargai sebuah kehidupan. Mira menggenggam erat tangan Kael dan akan membawanya keluar dari kota.
Mira dan Kael bersiap-siap untuk meninggalkan bangunan tua itu. Mira tahu bahwa mereka akan menghadapi banyak tantangan di luar sana, termasuk kabut misterius yang masih mengelilingi kota Walterham. Namun, dia merasa yakin bahwa dia bisa melindungi Kael dan mengungkap rahasia di balik kutukan Lumire Letters.
Mereka berdua keluar dari bangunan tua dan kembali ke keramaian kota Walterham. Warga masih terlibat dalam pesta rakyat mereka, tanpa menyadari perubahan yang telah terjadi. Mira dan Kael bergerak diam-diam menuju pintu kota, berharap bisa keluar tanpa dicurigai oleh penjaga. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka ke Bellingham akan menjadi petualangan yang berbahaya, tetapi mereka juga tahu bahwa mereka harus menghadapinya bersama.
Selama beberapa bulan berikutnya, Mira dan Kael bekerja sama untuk mencari cara menyembuhkan penyakit langka yang diderita Kael. Mira menggunakan pengetahuannya sebagai seorang pembunuh bayaran yang terbiasa dengan ramuan dan obat-obatan untuk mencoba mengobati Kael. Meskipun perjalanan itu tidak mudah, mereka akhirnya menemukan pengobatan yang mampu membantu Kael pulih secara bertahap.
Selama waktu itu, Mira juga mulai membina hubungan yang mendalam dengan Kael. Mereka berbagi cerita dan pengalaman hidup mereka, dan Mira mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Dia menyadari bahwa ada lebih banyak dalam hidup daripada hanya memenuhi keinginan buku Aether dengan cerita keburukan. Terlebih lagi, dia melihat bagaimana kutukan Lumire Letters telah menyebabkan begitu banyak penderitaan di dunia.
“Kak Mira, ada yang ingin aku
tanyakan. Sekarang tanggal berapa?” tanya Kael.
“Tanggal 15 bulan Naga Angin.
Memangnya ada apa?” jawab Mira.
“Selama Kak Mira merawatku, kakak
sudah tidak lagi membunuh orang?” lanjut Kael.
“Sepertinya iya, aku sedikit
kerepotan karena merawatmu jadi tidak ada kesemptan untuk mengambil pekerjaan
yang sama lagi.”
“Berapa lama aku sudah bersama
kakak?”
Mira sedikit bingung dengan
pertanyaan Kael. Ia masih tidak tahu mengapa Kael bertanya seperti itu. Nmun
Mria tetap menjawab seadanya.
“Ya mungkin sekitar satu.....bulan?”
jawab Mira terkaget. Bagaimana tidak, Mira tidak menulis buku Aether selama
satu bulan lebih. Mira menoleh ke buku Aether dengan cepat kahwatir bila mana
ada sesuatu yang mengkhawatirkan.
“Haha! Harusnya kakak sadar selama
ini bahwa buku itu bukanlah buku kutukan” ujar Kael.
“Lalu apa yang kamu maksud?” lanjut
Mira keheranan.
“Setelah kuselidiki dengan sihirku, buku itu bukan untuk menulis keburukan namun menulis apa yang disukai dan dibutuhkan bagi penulisnya.” jawab Kael.
Mira terkaget dengan jawaban yang diberikan Kael. Selama 10 tahun lebih, ia baru menyadari bahwa buku yang selama ini membuatnya menjadi pembunuh bukanlah karena kutukan. Buku itu hanya menerima tulisan yang disukai dan dibutuhkan penulisnya. Terbukti catatan pengalaman bertemu dengan Kael ia abadikan di buku Aether dan sampai saat ini buku Aether menerima tulisannya.
“Jadi, selama ini...alasanku
membunuh orang bukan karena kutukan? Melainkan karena aku suka melakukannya?”
ujar Mira membeku.
0 Comments