Pagi ini entah mengapa alarmku terdengar lebih kencang dari biasanya. Aku bangun dan melihat sekeliling kamarku. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela membuatku silau. Meskipun mataku masih belum terbuka lebar, ku berusaha untuk berdiri menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan sikat gigi. Setelah membasuh muka aku melihat ada makanan apa di meja. Ternyata ada onigiri dan kopi. Ibuku selalu pergi bekerja sebelum matahari terbit. Jadi makanan ini pasti sudah dingin.
Aku berangkat sekolah tepat pukul 7 pagi. Sekolahku
berjarak total 30 menit dengan berjalan kaki dan menggunakan kereta. Dan yang
menyebalkan, aku harus transit di stasiun tersibuk di Tokyo yaitu stasiun
Shinjuku. Sambil berjalan kulihat hpku. Sebuah kebiasaan untuk selalu mengecek
cuaca dan suhu setiap harinya. Hari ini tampaknya cerah dan sejuk. Selama perjalananku
menuju stasiun Shimokitazawa, bunga sakura mulai bertebangan seiring dengan
angin yang menghembus. Tahun ini akan akan menjadi tahun terakhirku menjadi
siswa SMA.
Jarak antara Stasiun Shimokitazawa dengan
Stasiun Shinjuku hanya melewati 6 stasiun dan menempuh waktu 8 menit. Selama di
dalam kereta, aku hanya melihat keluar sambil mendengarkan musik. Semakin
mendekati Shinjuku, kereta ini semakin penuh dan susah untuk bergerak. Karena
itu aku selalu berdiri di kereta agar dapat turun duluan. aku langsung keluar
dan berjalan cepat setelah kereta berhenti dan pintu terbuka. Untuk berjalan
menuju platform kereta selanjutnya biasanya membutuhkan 10 menit. Tapi kali ini
berbeda. Aku merasa tidak semangat untuk pergi ke sekolah. Seketika aku terdiam
diantara lalu lalang orang yang berjalan. Tanpa sengaja aku melihat seorang
gadis terburu-buru mengambil hp dari tasnya sehingga tidak sadar bahwa
dompetnya jatuh.
Aku melihat sekeliling dan tidak ada yang sadar.
Langsung aku menuju kesana untuk mengambil dompet itu dan mengejar gadis itu. Dompet
itu berwarna biru muda. Setelah berusaha mengejar diantara keramaian ini, aku
kehilangan jejak dari gadis itu. Lalu
aku memutuskan untuk memberikan dompet ini ke pos polisi. Saat hampir sampai di
depan pos polisi, dari belakang aku melihat gadis itu lagi. Dia tampak
kebingunan. Aku berusaha menyapanya.
“Permisi, apakah anda kehilangan dompet?”
“ya, padahal tadi masih ada saat aku masih
di kereta”
“apakah dompet ini?”
“iyaa, terima kasih banyak. Sepertinya aku
familiar dengan mukamu”
“apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”
“kamu Takaki kun, kan?
“Iya?, kamu siapa ya?”
“Aku Akari, kita dulu satu SMP di
Okazaki.”
“Akari san? Itu kamu, kan? Sangat beda
sekali dengan kamu yang dulu”
Ingatan kembali teringat saat masa SMP ku
di Okazaki. Akari san dulu teman sekelasku sekaligus sainganku. Kami selalu
bersaing dalam pelajaran maupun olahraga. Dulu dia berambut pendek dan
berkacamata. Sekarang yang ada dihadapankua adalah perempuan cantik berambut
panjang yang diikat. Kami berpisah setelah lulus SMP dan aku harus pindah ke
Tokyo mengikuti orang tuaku.
“Takaki kun, mau pergi ke sekolah?”
“Iya. Akari san gak ke sekolah juga? Kamu
tidak pake seragam”
“Hari ini aku mau bolos. Rasanya aku ingin
untuk sesekali keluar dari rutinitas yang sama. Takaki kun, mau ikut bareng
bolos?”
Seperti teringat masa lalu, dengan ekpresi
muka yang selalu dia berikan kepadaku. Dia mengajakku untuk membolos. Suatu
kebetulan hari ini aku tidak bersemangat bersekolah dan bertemu kembali dengan
Akari san.
“Jadi mau bolos kemana?”
“Entah, aku baru saja dateng di Shinjuku. Stasiun
ini emang seperti labirin ya. Setidaknya kita keluar dulu dari stasiun.”
“Jadi Akari san, dari awal ingin bolos ya.
Oke kita jalan ke pintu keluar utama”
“Tadi kamu bilang baru sampai di Shinjuku.
Berarti kamu sekolahnya tidak sini?”
“Sekolahku ada di Kamakura. Aku ke Tokyo
ingin jalan-jalan saja. Dan sangat kebetulan sekali aku bertemu teman lamaku.”
“Lumayan jauh juga ya. Jadi apa ada tempat
di Tokyo yang mau kamu kunjungi?”
“Rasanya aku pingin ke taman dulu. Aku
capek dari tadi berdiri di kereta”
“Bagaimana kalau kita ke Shinjuku Gyoen.
Tamannya lumayan dekat dari sini dan kamu bisa istirahat sebentar.”
“Okee. Aku ngikut aja”
Taman itu sangat dekat dari Shinjuku,
terkadang sebelum pulang ke rumah aku kesana sambil menikmati sore hari. Di
sana aku hanya duduk-duduk saja sambil membaca buku novel kesukaanku. Setelah
hanya berjalan sekitar 10 menit kami tiba di depan pintu taman. Untuk masuk ke
dalam, ada tiket masuknya. Saat aku mau membayarnya, Akari san langsung
menahanku dan dia bilang biar dia saja yang membayarnya. Dan aku berterima
kasih padanya.
“Sangat indah ya, tamannya. Pohonnya
rindang sekali. Di situ ada bangku kosong. Ayo kesana!”
“Pas sekali, letaknya langsung menghadap
danau.”
“Betul kann”
“Jadi Akari san sekarang gimana kabarnya.
Apa masih biasa saja seperti dulu atau gimana?
“Gimana ya? Bisa dibilang sama saja sih.
Rutinitas sekolah dan klub seperti biasa. Tapi sekarang sudah kelas 3 jadi
lebih fokus belajar buat ujian nanti. Takaki kun gimana?
“Sama saja sih. Hanya fokus belajar buat
ujian.”
“Sudah ada pikiran ingin ke universitas
mana?”
“Kata guruku aku bisa saja ke Waseda tanpa
tes. Jadi semacam rekomendasi karena SMA ku ada kerjasama.”
“Wah hebat. Kalau aku masih bingung. Entah
ke universitas seni atau universitas biasa.”
“Seni? Aku gak tahu kamu minat dengan
seni”
“Sejak SMA aku mencoba hal-hal baru, aku
ikut kurabu orkestra sama melukis.”
“Hmm...Jadi bagaimana kata guru mu?”
“Antara akademik sama kurabu aku rasa
seimbang. Nilai ku tidak pernah jatuh, sedangkan aku juga sering ikut lomba dan
ada yang menang.”
Akari san yang kukenal memang pintar.
Malah aku rasa dia sudah jauh diatasku. Padahal dia baru mencoba di awal SMA,
tapi bisa menang lomba. Kamipun saling bertukar cerita tentang masa SMA
masing-masing. Meskipun di teman lama yang sudah lama tidak bertemu, entah berbincanganku
dengannya sangat mengalir. Aku merasa nyaman duduk di sebelahnya. Setelah
beberapa lama, obrolan kami berhenti. Kami saling menikmati angin sejuk yang
menghembus muka kami sambil berharap setidaknya hari ini bisa lebih lama. Saat
aku memejamkan mata, aku merasakan dia menyandarkan kepala ke pundakku. Aku
melihat dia.
“Bisakah waktu ini berhenti sejenak saja.”
“Aku rasa bisa saja sementara.”
“Takaki kun, apakah kamu tidak khawatir
tentang masa depan?”
“Sebenarnya khawatir, aku banyak mimpi
yang ingin kuwujudkan. Tapi aku merasa kalau selalu memikirkan mimpi itu aku
menjadi gelisah.”
“Jadi lebih baik kita memikirkan untuk
sekarang saja ya.”
“Sepertinya memang begitu.”
0 Comments